Wednesday, September 14, 2011

Abandoned

Matahari mulai beranjak naik menyeruak diantara ranting pohon jati. Lidah apinya menghujam tanah retak yang rindu akan sapaan air hujan. Sekitar pukul 9 pagi hari itu aku jejakkan langkah di tanah kelahiran ayahku. Gugusan bukit kapur yang dipenuhi hutan jati yang sedang meranggas seolah tersenyum menyambut kedatangan para perantau yang kembali ke kampung halaman.

Sudah lama sepertinya aku tidak datang ke tempat ini. Tapi suasana tiga tahun lalu nampaknya tidak banyak berubah. Teriknya mentari, keringnya tanah ladang, pohon jati yang menjulang ke langit, rumah-rumah tua berukuran besar yang tidak terawat, sumur yang dalamnya lebih dari 20 meter dengan air tergenang di dasarnya, hingga pepohonan mangga yang biasanya tumbuh di pekarangan rumah. Ada satu kekaguman serta keherananku pada lingkungan ini; jalan raya. Tak mudah kutemui pada daerah lain yang pernah kukunjungi satu hal yang begitu kontras seperti ini. Kondisi lingkungan yang keras seolah tidak terawat ini dilalui jalan raya beraspal tebal dan halus. Aspal hitam seolah mengalir ditengah peradaban desa yang ditinggalkan hingga ke pelosoknya.

Yes. Ini adalah tempat dimana desa-desa ditinggalkan oleh warganya. Bukan karena terjangkit penyakit atau terpapar radiasi desa-desa di tempat ini ditinggalkan. Tapi memang karena kondisi serta gambaran indah tinggal di kota yang mendorong mereka melakukan hal ini. Hidup di perkotaan teruatama Jakarta menjadi mimpi di malam-malam tidur anak-anak di desa ini. Pakde, bude, om, tante, mas, mba dari mereka yang sudah mencicipi kuah masakan ibukota yang kemudian dibagi-bagi saat perayaan lebaran seperti inilah yang memperkuat tekad mereka. Jakarta begitu indah, seindah senyuman lebar keluarganya yang pulang mudik.

No comments: