Wednesday, September 21, 2011

Once Upon a Time


Wong takon wosing dur angkoro
Antarane riko aku iki
Sumebar ron ronaning koro
Janji sabar, sabar sak wetoro wektu
Kolo mangsane, ni mas
Titi kolo mongso
Pamujiku dibiso
Sinudo kurban jiwanggo
Pamungkase kang dur angkoro
Titi kolo mongso

Tulisan diatas adalah lirik lagu dari Sujiwo Tejo yang berjudul Pada Suatu Ketika. Beliau menuturkan dalam blog pribadinya bahwa lirik ini dirampungkan saat lengsernya Pak Harto tahun 1998.
"Warna revolusi, warna amarah sosial, saya redam ke dalam melodi yang sebisa mungkin menahan marah."
begitu katanya.

Bagiku, lagu Sujiwo Tejo ini begitu indah. Dilantunkan dengan gaya "dalang" diawal lagu. Nada-nada lembut terpaut jelas satu demi satu dengan ritme yang lambat. Dari awal hingga tengah lagu Sujiwo Tejo terkesan berpuisi dan monogami mengungkapkan kegalauan hatinya. Barulah di akhir lagu beliau menyanyi dengan diiringi backing vocal paduan suara yang begitu pas.

Titi kolo mongso. Pada suatu ketika. Once upon a time. Serangkaian kata yang berusaha menenangkan diri. Kesabaran yang ditahan sebisa dan selama mungkin. Ada keprihatinan dalam melihat kondisi yang ada. Optimisme yang selalu berusaha ditegakkan meski kesedihan begitu dalam.

Orang orang bertanya kapan angkara murka berakhir
Diantara kau dan aku
Tersebar daun daun kara
Bersabarlah untuk sementara waktu
Suatu ketika, dinda
Pada suatu ketika
Doaku semoga
Semakin berkurang korban jiwa raga
Pengakhir angkara murka
Pada suatu ketika

Saturday, September 17, 2011

Happiness

Akhirnya mereka saling bertegur sapa lagi. Setelah sekian lama saling membisu dan tak bertemu akhirnya kulihat mereka bercanda bersama. Hujan menepuk bahu bumi dengan lembut. Bumi memeluknya dengan sepenuh jiwa. Kerinduan mereka lepaskan dengan begitu riang. Tawa mereka lampiaskan satu sama lainnya. Begitu nyaring dengan diiringi samba meriah dari tarian pepohonan.

Thursday, September 15, 2011

No Short Pants

Aku suka sekali sejarah. Tapi aku benci pelajaran sejarah yang diasosiasikan sebagai pelajaran hafalan. Bagiku, sejarah adalah dongeng nyata yang ditulis dan diceritakan antar generasi. Narasi dongeng yang begitu beragam. Ada duka dan gembira pun ada serial kepahlawanan sekaligus kebejatan yang pernah terlakonkan di dunia ini.

Selain diri sendiri, tersimpan cerita dibalik semua hal yang kita lihat di sekeliling kita. Termasuk pula gedung-gedung yang berdiri di Kawasan Kota Tua ini. Pastinya mereka punya cerita yang amat menarik dari apa yang mereka lalui selama ratusan tahun. Jika mereka bisa bicara, pastinya tak ragu ku kan merajuk pun memohon untuk minta didongengkan kisah-kisah luar biasa. Salah satunya adalah kisah dimana ulang tahun Jakarta tiap 22 Juni itu sebenarnya merupakan kisah memilukan dari penyerangan Fatahillah atas kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis dengan cara membunuh dan membumihanguskan Sunda Kelapa.

Cerita terdamparnya aku di Kawasan Kota tua ini lebih karena kebutuhan untuk mengurus passport ke luar negeri. Tidak sangka ternyata Kantor Imigrasi-nya berada d kawasan ini. Tiap kali ke Kota Tua yang ku tahu hanyalah jajaran museum dan bangunan tak terawat lainnya. Baru tahu juga jika salah satu bangunan yang nampaknya tidak dibangun di zaman bangsa ini merdeka ternyata dijadikan Kantor Imigrasi Jakarta Barat. Kucoba tanya-tanya google tentang sejarah bangunan ini tapi hasilnya nihil. Mungkin jika ada waktu nanti aku bisa tanya-tanya pakar sejarah Kota Tua kenalanku.

Saat ku tiba di pintu masuk ruang tunggu imigrasi, terpapang tulisan "Celana Pendek dan Sendal Jepit Dilarang Masuk!"

"Wow.. Jadi ini to penyebabnya wanita muda yang kulihat pagi tadi tidak diijinkan masuk." cengirku. Aturan yang tidak pernah kulihat saat memasuki tempat bersejarah lainnya. Sesuatu yang unik. Jika memasuki ruang imigrasi saja harus sopan, lantas mengapa banyak yang masuk tempat bersejarah lain hanya dengan celana cekak dan kaus kutang.

Dan tak lama akhirnya wanita itu kembali dengan mengenakan celana panjang. Walau masih heran kok dia sempat pulang. "Hmm.. No short pants girls."

Wednesday, September 14, 2011

Grasshopper

Berulang kali kutanyakan dalam hati, "Bagaimana mungkin manusia bisa bertahan hidup di tempat seperti ini?"

Cuaca siang itu begitu panas. Mobil carry sewaan ayahku meliuk-liuk mengikuti alur jalan beraspal panas diantara rumah dan ladang yang kering. Seringkali kami berpapasan dengan kendaraan lain dengan plat be-nya. Di hari Idul Fitri macam ini, daerah ayahku dibesarkan memang amat ramai. Berbondong-bondong orang datang mengunjungi sanak famili untuk berbagi kebahagiaan.

Tak lama mataku menangkap sesuatu yang sudah diduga sebelumnya. Senyum ini pun lagi tertahankan untuk dilebarkan. Beberapa orang penjual belalang duduk jongkok di pinggir jalan menanti dagangannya laku. Benar aku tidak salah tulis. Belalang! Cuma ada di tempat ini kutemukan orang menjual belalang bukan untuk pakan burung atau ikan, tapi untuk konsumsi manusia.

Keren. Jenius. Gila. Serakah. Segala kekaguman sekaligus keheranan bercampur baur. Rasa jijik segera meluncur melalui kerongkongan seolah belalang itu sedang kusantap. "Bagaimana mungkin manusia bisa menjadikan belalang kayu macam itu sebagai lauk pauk makanan sehari-hari?"

Sering kudengar cerita dari ayahku jika konsumsi belalang adalah hal yang wajar di sana. Bahkan dimasa kecilnya, serangga lain macam laron pun kadang juga dikonsumsi. Walau belakangan diketahui memiliki tingkat protein yang tinggi, tapi tetap saja mengkonsumsi makhluk macam itu adalah sesuatu yang kelewatan.

Abandoned

Matahari mulai beranjak naik menyeruak diantara ranting pohon jati. Lidah apinya menghujam tanah retak yang rindu akan sapaan air hujan. Sekitar pukul 9 pagi hari itu aku jejakkan langkah di tanah kelahiran ayahku. Gugusan bukit kapur yang dipenuhi hutan jati yang sedang meranggas seolah tersenyum menyambut kedatangan para perantau yang kembali ke kampung halaman.

Sudah lama sepertinya aku tidak datang ke tempat ini. Tapi suasana tiga tahun lalu nampaknya tidak banyak berubah. Teriknya mentari, keringnya tanah ladang, pohon jati yang menjulang ke langit, rumah-rumah tua berukuran besar yang tidak terawat, sumur yang dalamnya lebih dari 20 meter dengan air tergenang di dasarnya, hingga pepohonan mangga yang biasanya tumbuh di pekarangan rumah. Ada satu kekaguman serta keherananku pada lingkungan ini; jalan raya. Tak mudah kutemui pada daerah lain yang pernah kukunjungi satu hal yang begitu kontras seperti ini. Kondisi lingkungan yang keras seolah tidak terawat ini dilalui jalan raya beraspal tebal dan halus. Aspal hitam seolah mengalir ditengah peradaban desa yang ditinggalkan hingga ke pelosoknya.

Yes. Ini adalah tempat dimana desa-desa ditinggalkan oleh warganya. Bukan karena terjangkit penyakit atau terpapar radiasi desa-desa di tempat ini ditinggalkan. Tapi memang karena kondisi serta gambaran indah tinggal di kota yang mendorong mereka melakukan hal ini. Hidup di perkotaan teruatama Jakarta menjadi mimpi di malam-malam tidur anak-anak di desa ini. Pakde, bude, om, tante, mas, mba dari mereka yang sudah mencicipi kuah masakan ibukota yang kemudian dibagi-bagi saat perayaan lebaran seperti inilah yang memperkuat tekad mereka. Jakarta begitu indah, seindah senyuman lebar keluarganya yang pulang mudik.